Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu baru saja terbit. Beberapa pokok-pokok penting yang diatur dalam PP yang diberlakukan efektif mulai 1 Juli 2013 tersebut adalah sebagai berikut:
- Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4.8 milyar dalam 1 (satu) Tahun Pajak, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1%.
- Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan
- Dikecualikan dari pengenaan PPh Final berdasarkan ketentuan ini adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang diperoleh:
- tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
- pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
- olahragawan;
- penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- agen iklan;
- pengawas atau pengelola proyek
- perantara
- Tidak termasuk dalam pengertian Wajib Pajak yang dikenakan dengan PP ini adalah:
- Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan / atau jasa yang dalam usahanya:
- menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
- menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Contoh: pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar dan sejenisnya.
- Wajib Pajak badan:
- yang belum beroperasi secara komersial; atau
- yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi seara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4,8 milyar.
- Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan / atau jasa yang dalam usahanya:
- PP ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang selama ini telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiiki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Hingga saat penulisan artikel ini, PMK dimaksud belum terbit.
UMKM Jadi Target Pemajakan
Meski tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 46 tahun 2013, sulit dipungkiri bahwa yang menjadi target pemajakan dalam ketentuan perpajakan baru ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha Rp.4,8 milyar dalam PP tersebut yang masih dalam lingkup pengertian UMKM menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yakni usaha yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha dengan peredaran maksimum Rp.50 milyar dalam setahun.
Terkait dengan UMKM, sebelumnya sudah ada ketentuan perpajakan yang mengatur tarif khusus PPh untuk UMKM tetapi hanya berlaku untuk yang berbentuk badan usaha. Dalam Undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh) pasal 31 E dinyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.50 milyar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.4,8 milyar. Dengan tarif PPh Badan yang berlaku saat ini yaitu 25%, maka bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memenuhi syarat, tarif efektifnya menjadi 12,5% atas penghasilan sampai dengan Rp.4,8 milyar. Pengenaan PPh dalam hal ini dilakukan terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari perhitungan laba-rugi akuntansi (pembukuan) setelah dilakukan koreksi fiskal karena berdasarkan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), Wajib Pajak badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Rencana menjadikan UMKM sebagai fokus atau target pemajakan telah terdengar sejak petengahan tahun 2011. Saat itu sumber data menunjukkan bahwa UMKM menyumbang 61% dari Produk Domestik Bruto tetapi kontribusinya terhadap total penerimaan pajak hanya 5%. Oleh karena itu kuat dugaan bahwa terbitnya PP 46 Tahun 2013 adalah karena potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM belum tergali secara maksimal. Hal ini sedikit berbeda dengan penjelasan Menteri Keuangan baru-baru ini yang dikutip beberapa harian nasional dan media elektronik yang mengatakan bahwa keputusan Pemerintah mengenakan tarif 1% terhadap UMKM bukanlah alasan penerimaan negara tetapi bermaksud meningkatkan status UMKM menjadi sektor formal sehingga lebih mudah memperoleh akses keuangan, permodalan maupun kredit perbankan. Penjelasan Menteri Keuangan ini patut dipertanyakan karena maksud tersebut tidak tercemin dalam konsiderans (pertimbangan) terbitnya PP 46 Tahun 2013.
Pengenaan PPh Final Terhadap UMKM Mengenyampingkan Aspek Keadilan
Pertimbangan Pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1% dari peredaran usaha setiap bulan dan bersifat final terhadap UMKM sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum PP 46 Tahun 2013 adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Tidak terdapat aspek keadilan yang menjadi faktor pertimbangan terbitnya PP ini. Pengenaan PPh yang bersifat final bermakna bahwa setelah pelunasan PPh 1% yang dihitung dari peredaran bruto setiap bulan, kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah dianggap selesai dan final.
Ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan (equity principle), pengenaan PPh Final tidak sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Ini disebut dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave & Musgrave, 1976). Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang berlaku (Mansury R, 1996). Berhubung PPh Final dihitung langsung dari peredaran bruto maka pemajakan tersebut tidak sesuai dengan konsep keadilan dalam pemajakan. Betapa tidak, besar kecilnya penghasilan neto seseorang atau badan usaha tidak akan mempengaruhi besarnya pajak yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung terhadap peredaran bruto. Bahkan dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh Final seseorang atau badan usaha tetap harus membayar pajak.
Dengan mengenakan PPh Final berdasarkan tarif 1%, UMKM yang berbentuk badan usaha tidak diuntungkan dan tidak dirugikan apabila persentase Penghasilan Kena Pajak terhadap peredaran bruto dapat mencapai 8%. Hal tersebut dapat dirumuskan dengan: 1% x peredaran bruto sebulan = 12,5% x 8% x peredaran bruto sebulan. Tarif 12,5% adalah merupakan tarif pasal 31 E dari UU PPh. Apabila UMKM dalam bentuk badan usaha mampu meraih persentase penghasilan kena pajak di atas 8%, maka UMKM dalam bentuk badan usaha akan diuntungkan karena membayar PPh lebih kecil dari ketentuan sebelumnya. Demikian sebaliknya akan membayar PPh lebih besar apabila persentase penghasilan kena pajak kurang dari 8% terhadap peredaran bruto, bahkan akan tetap membayar PPh Final meskipun dalam keadaan merugi. Persentase minimum atas penghasilan kena pajak yang harus dicapai oleh UMKM perorangan akan lebih besar dari 8% agar tidak dirugikan dengan berlakunya pengenaan PPh Final 1% dari peredaran bruto, sebab dengan berlakunya PP 46 Tahun 2013 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak lagi menjadi faktor pengurang dalam menghitung kewajiban PPh UMKM orang pribadi.
Illustrasi berikut ini memberikan gambaran bagaimana dampak PP 46 Tahun 2013 terhadap UMKM orang pribadi dengan status kawin punya 3 (tiga) anak atau K/3 maupun badan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Untuk mencari titik impas di mana UMKM orang pribadi dengan status K/3 dalam illustrasi di atas tidak diuntungkan dan tidak dirugikan dengan PP 46 Tahun 2013 dibandingkan dengan penerapan tarif progresif pasal 17 ayat (1) UU PPh, maka dibuat persamaan sederhana sebagai berikut:
1% x 2.400.000.000 = (5% x 50.000.000) + 15% x (X – 50.000.000)
X = penghasilan kena pajak setelah PTKP
Dari persamaan tersebut di atas, akan diperoleh:
- Penghasilan Kena Pajak setelah PTKP Rp. 193.333.333
- PPh Terutang dengan tarif Progresif ps.17 ayat (1) UU PPh = Rp. 24.000.000, sama dengan 1% x Rp.2.400.000.000 (PP 46 Tahun 2013)
- Total Penghasilan Kena Pajak sebelum dikurangi PTKP = Rp. 225.733.333
(Rp.193.333.333 + Rp.32.400.000) atau ekuivalen dengan sekitar 9.405 % dari Sales.
Dengan demikian dari perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa minimum persentase penghasilan kena pajak sebelum dikurangi PTKP yang harus dicapai oleh UMKM orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dalam illustrasi tersebut agar tidak dirugikan dengan terbitnya PP 46 Tahun 2013 adalah Rp.225.733.333 atau 9,405 % dari peredaran usaha. Sebagaimana terlihat dalam tabel illustrasi di atas, apabila capaian persentase dimaksud kurang dari 9,405% maka UMKM akan membayar pajak lebih besar.
Selanjutnya bagi UMKM orang pribadi (diluar penghasilan yang diperoleh dari sejumlah jenis pekerjaan bebas sebagaimana di atur dalam PP 46 Tahun 2013) yang sebelumnya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000), maka mudah sekali melihat apakah UMKM orang pribadi diuntungkan atau dirugikan dengan penerapan ketentuan baru ini. Mengacu pada illustrasi sebelumnya, maka bagi UMKM orang pribadi yang sebelumnya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan persentase yang lebih besar dari titik impas 9,405 % jelas akan diuntungkan dengan terbitnya PP 46 Tahun 2013 dan sebaliknya akan merugikan bagi UMKM dengan persentase norma dibawah 9,405 %.
Sebagai contoh untuk Pedagang Elektronik di Ibukota DKI, persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang berlaku menurut KEP-536/PJ/2000 adalah 25%. Dengan kembali mengacu pada illustrasi yang disajikan sebelumnya, maka perhitungan PPh terutang adalah sebagai berikut:
- Penghasilan Neto = 25 % x Rp.2.400.000.000 = Rp.600.000.000
- PTKP = Rp.32.400.000
- Penghasilan Kena Pajak = Rp.567.600.000
- PPh Terutang (tarif progresif Ps 17 UU PPh) = Rp.115.280.000
Dibandingkan dengan PPh Terutang menurut PP 46 Tahun 2013 yang dihitung dengan 1% x total peredaran bruto yaitu Rp.24.000.000 (1% x Rp.2.400.000.000) maka UMKM Pedagang Elektonik tersebut akan memperoleh penghematan pajak cukup besar yaitu Rp.91.280.000.
Sederhana Tetapi Mundur Dari Sistim Self-Assessment
Penerapan PPh Final 1% terhadap UMKM yang mempunyai peredaran bruto tidak lebih dari Rp.4,8 milyar setahun adalah tepat jika hanya dilihat dari sisi kemudahan dalam penghitungan pajak bagi kelompok perorangan dan badan usaha yang selama ini kesulitan menyelenggarakan pembukuan. Namun bagi UMKM perorangan atau badan usaha yang selama ini telah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dan menghitung PPh dari penghasilan kena pajak yang senyatanya dari hasil pembukuan setelah dilakukan koreksi fiskal, ketentuan ini menjadi suatu kemunduran bagi mereka. Betapa tidak, untuk kelompok ini, konsep self – assessment yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya jelas menjadi tidak bermakna. Kebijakan pengenaan PPh Final terhadap UMKM mundur dan tidak selaras dengan tujuan utama dari sistim self – assesment yaitu kepatuhan membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance).
Semangat pemerintah dalam mengejar target penerimaan negara lebih dominan terlihat dalam penerbitan PP 46 Tahun 2013. Jadi, lebih dari sekedar memberi kemudahan kepada UMKM dalam melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang, dan tidak pula tampak jelas dalam rangka mendorong UMKM mudah dalam akses ke sektor keuangan, permodalan dan kredit perbankan.
Selektif Dalam Penerapan PPh Final
Dalam terminologi perpajakan, pengenaan PPh dari peredaran bruto dengan tarif tertentu dikenal sebagai salah satu cara penerapan presumption taxation atau presumptive tax (Victor Thuronyi, 2003). Dalam hal ini pihak otoritas pajak (fiskus) menganggap bahwa Wajib Pajak memperoleh penghasilan neto minimum sejumlah persentase tertentu sehingga diwajibkan membayar pajak. Selain Indonesia, beberapa negara lain juga menerapkan presumptive tax kepada kelompok Wajib Pajak tertentu yang umumnya adalah mereka yang disinyalir tidak bersedia secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan mereka yang sudah terdaftar tetapi tidak melaporkan penghasilan yang sebenarnya (Terkper, 2003). Para pengusaha perorangan, kelompok petani dan para pekerja profesional yang melakukan transaksi dengan tunai juga menjadi target penerapan presumptive tax. Kelompok ini disebut sebagai kelompok yang sulit dipajaki atau disebut dengan hard to tax group. Bahkan para pengusaha kecil dan menengah juga termasuk dalam kelompok tersebut (Tanzi and Casanegra, 1989).
Disisi lain Presumptive tax dipandang memiliki beberapa kelebihan terutama efektifitasnya dalam mengurangi beban administrasi Wajib Pajak dan administrasi perpajakan (fiskus) karena penghitungan pajak sangat sederhana, pemerataan distribusi beban pajak serta dapat mengeliminir penghindaran dan penyelundupan pajak (Victor Thuronyi, 2003). Namun demikian aspek keadilan merupakan kritik utama atas penerapan konsep pemajakan yang bersifat final ini. Oleh karena itu penerapan presumptive tax harus dilakukan oleh pemerintah secara selektif dan hati-hati. Misalnya bagi kelompok UMKM orang pribadi maupun badan usaha yang selama ini telah sanggup menyelenggarakan pembukuan dengan tertib seyogianya tidak dimasukkan dalam cakupan ketentuan PP 46 Tahun 2013. Dengan memasukkan kelompok ini dalam ketentuan PP 46 Tahun 2013, dorongan agar Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan sebagai bagian dari sistim self-assessment menjadi berkurang, pada hal salah satu tugas Fiskus adalah pembinaan Wajib Pajak termasuk dalam hal kepatuhan penyelenggaraan pembukuan. Penetapan tarif PPh Final juga syogianya dilakukan dengan benar-benar mempertimbangkan tingkat keuntungan rata-rata per sektor di UMKM, sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang lebar antara UMKM yang dirugikan dan yang diuntungkan dengan berlakunya PP 46 Tahun 2013. Memang benar ketentuan ini tidak dapat menguntungkan semua pihak. Kata orang bijak: ”No one size fits all”.